Potret Kehidupan Sujak bersama Gerobak Reot hantar Anak ke Perguruan Tinggi

Potret Kehidupan Sujak (63) Penjual Gorengan di Terminal Simpang Nangka Dengan Gerobak Reot, Antarkan Anak Hingga Perguruan Tinggi Sepintas lewat dan mampir membeli gorengan di Terminal Simpang Nangka, terlihat sosok laki-laki tua penjual gorengan berperawakan kecil kurus dengan gerobak reot yang digunakannya. Laki-kaki itu bernama Sujak, seorang bapak 5 orang anak warga Kelurahan Banyumas Kecamatan Curup Tengah. Dengan gerobak reotnya itu, laki-laki kelahiran 63 tahun lalu ini telah mengantarkan anak-anaknya sekolah hingga ke perguruan tinggi.

Sujak berjualan gorengan sejak tahun 2000, bertepatan dengan beroperasinya Terminal Simpang Nangka. Gorengan yang dijual Sujak di antaranya tahu, tempe, empek-empek dan pisang goreng. Harga gorengan itu Rp 500 per buah. Terminal Simpang Nangka saat itu sunyi lengang. Namun Sujak tetap sabar menanti calon pembeli datang menghampirinya. Biasanya, pembeli gorengan buatan Sujak itu adalah para penumpang yang menanti kedatangan bus. Ketika bus tiba, para penjual gorengan termasuk Sujak, sedikit berlarian mendekati bis yang datang, berharap rezeki datang. Di sisi lain, Sujak yang hanya seorang penjual gorengan tak ingin anak-anaknya mengikuti jejaknya yang hanya lulusan SR (Sekolah Rakyat). Sujak bertekad, walaupun hanya seorang penjual gorengan namun anak-anaknya harus mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Hal itu dibuktikannya, 2 putranya yakni Hallyan (25) kuliah di STAIN Curup semester terakhir, Yudo Anggo Promono (22) di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Jawa Timur semester terakhir. Bahkan Yudo diangkat menjadi Asisten Dosen. Tiga anak Sujak yang lain yakni Toriq Trihandayani (SMAN 5 Curup), Adi (SMP 3 Talang Ulu) dan Srikandi (SD 06 Curup). “Anak saya pokoknya harus sekolah. Biarlah mereka minder karena bapaknya jualan gorengan. Saya terus mendorong mereka jangan berhenti sekolah,” papar Sujak dengan nada tegar. Sujak merupakan perantau asal Jawa, tiba di Curup tahun 1974. Ia sudah berkeliling gonta ganti usaha. Tahun 1985, Sujak pulang ke Jawa untuk menjemput sang calon bidadari pelengkap kehidupan. Karena ia tidak boleh menikah dengan gadis yang bukan dari Kepulauan Jawa. Karena betah di Kota Curup yang penuh embun di pagi hari, akhirnya bersama sang istri ia tinggal di Curup. Mulailah ia membuat gerobak gorengan berjualan keliling di Kota Curup dan istri berjualan sayuran.

Saat Terminal Simpang Nangka beroperasi tahun 2000 hingga kini, Sujak setia bersama gerobak dan gorengannya. Setiap pagi sekitar pukul 08.00 WIB, ia menjadwalkan harus tiba di Terminal Simpang Nangka. Artinya sejak waktu subuh usai, ia harus menyiapkan peralatan dan bahan gorengan bersama istrinya, Supatmi (46). Hingga berhari-hari sampai pukul 18.00 WIB, Sujak menunggu penumpang mobil bus dari Jawa, Bengkulu, Palembang, Padang dan kota besar lainnya yang transit di terminal ini. Beberapa mobil pejabat sesekali lewat depan gerobaknya. Sujak tetap tegar walaupun banyak juga yang membuat ia jengkel.”Saya sering iri hati. Pasalnya kalau anak-anak muda biasanya milih-milih. Mungkin gerobak saya kelihatan reot, idak mau beli gorengan kami,” ujar Sujak. Dalam sehari, Sujak mendapat omzet kotor Rp 100 ribu – Rp 160 ribu. “Biarlah istri saya yang mengatur keuangannya. Saya takut lemah kalau tahu penghasilan sedikit. Jadi saya hanya tahu kalau kita harus punya manajemen keuangan,” tutup Sujak.(**)

Di tulis oleh : Insan yg merindukan cinta kedua orang tua hingga mengharapkan syurga sang Pencipta.